Minggu, 16 Januari 2011

Merekonstruksi Hakikat Demokrasi

Oleh : Ari Ahmad Afandi


Semenjak tak adanya sistem pemerintahan yang menjadi landasan atas diterapkannya syariat islam, umat muslim kini layaknya nahkoda yang kehilangan arah. Tak tahu kemana harus melangkah dan dengan apa ia harus berubah. Semakin hari umat semakin terkaburkan antara batas haq dan kebatilan. Tak bisa membedakan mana yang menjadi perintah dan mana yang menjadi larangan. Bahkan sebagian besar dari mereka cenderung apatis atas hukum islam yang seharusnya dijadikan pegangan.

Mereka (orang-orang kafir) memahami benar, bahwa agama islam yang memiliki peraturan kompherensif mengatur segala sendi kehidupan akan menjadi ancaman yang sangat “membahayakan” bagi nilai-nilai sekular yang selama ini mereka agung-agungkan. Mereka terus berusaha memisahkan umat islam dari kemurnian ajarannya sehingga aturan-aturan tersebut tak lagi terimplementasikan. Berbagai upaya baik dari opini-opini negatif, propaganda-propaganda yang memojokkan agama islam hingga infiltrasi ide-ide kufur kedalam nilai islam tak henti-hentinya mereka lakukan.

Penginfiltrasian ide-ide kufur agar tampak menjadi bagian dari nilai-nilai islam ini menjadi hal yang sangat membahayakan. Keberadaannya begitu halus hingga membuat sebagian umat islam tidak sadar akan kentalnya ide kufur itu dari apa yang mereka lakukan. Akibatnya tak sedikit umat islam yang terjebak sehingga justru menjadi pengusung dan pembela ide-ide tersebut hingga mengklaimnya sebagai bagian dari nilai-nilai murni islam. Dengan demikian secara tak langsung namun begitu telak, orang-orang kafir telah berhasil menjauhkan umat dari ajaran islam itu sendiri, bahkan mampu membuat pertentangan dalam tubuh umat islam.


Salah satu ide kufur yang sangat popular dan begitu diagung-agungkan saat ini adalah faham demokrasi. Sebuah ide yang secara sekilas begitu nampak mulia dan sejalan dengan prinsip islam. Didalamnya dijunjung tinggi tentang kebebasan baik dalam pemenuhan hak berpendapat, memiliki sesuatu hingga kebebasan dalam memilih keyakinan. Dalam demokrasi ini hak-hak individu konon dijunjung tinggi dengan mekanisme pemberian kekuasaan dan kedaulatan mutlak pada tangan rakyat. Setiap orang diberikan kebebasan yang luas dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya tanpa intervensi dan pembatasan dari negara.

Pada awal berdirinya, demokrasi ini muncul layaknya udara yang memberikan kesejukan atas kegelapan dan otoritas gereja sebelum renaisance. Dengan melihat kenyataan pada waktu itu bahwa keberadaan agama (gerejawan) hanya akan melahirkan kediktatoran raja sebagai titisan tuhan, maka dicetuskanlah demokrasi yang berlandaskan pada faham sekulerisme yang memisahkan agama dalam urusan keduniaan. Sebagai konsekuensinya kehendak rakyat melalui suara mayoritaslah yang dijadikan landasan pengambilan keputusan. Dengan asumsi suara mayoritas adalah kehendak terkuat yang mewakili keinginan seluruh rakyat.
Dalam perjalanannya keberadaan demokrasi yang bermaksud menyaring kehendak seluruh aspirasi rakyat dan memberikan kebebasan pemenuhan hak individu ini hanya menjadi ide-ide manis yang utopis. Pelaksanaannya yang konon sukses dimasa yunani kuno, tak sedikitpun terlihat di era global ini. Dalam skala yang lebih luas kehendak rakyat justru dikebiri dengan sistem parlemen yang dikatakan mewakili berbagai golongan. Suara yang dibawa bukan lagi suara seluruh rakyat. Namun suara dan kepentingan masing-masing golongan yang tak bisa disatukan. Mekanisme seperti ini kenyataannya justru memberikan kesempatan yang lebih leluasa bagi para pemilik kuasa (pemilik modal) untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan melalui lobi-lobi yang dilakukan. Contoh yang paling sederhana adalah bagaimana kebijakan pemerintah dan dewan yang seringkali justru berkebalikan dengan keinginan rakyat. Mulai dari kebijakan penaikan harga sembako, harga minyak maupun kebijakan politik yang lain.

Kesewenang-wenangan dengan mengatasnamakan penegakkan demokrasi ini semakin nampak disaat terjadinya invasi di irak, penjajahan atas tanah palestina hingga hegemoni kuat pengusung paham demokrasi (amerika dan sekutunya) terhadap negara-negara muslim. Dengan dalih menjaga demokrasi ini pula, perlawanan para pejuang islam dikatakan sebagai pemberontakan dan dicap sebagai aksi terorisme.

Dalam skala individu penyimpangan yang bersumber dari faham demokrasi ini adalah munculnya kebebasan yang tanpa batas, karena memang dalam demokrasi ini batas dari sebuah kebebasan tidak pernah terdefinisikan secara jelas. Sehingga dengan mudahnya atas dasar demokrasi melalui kebebasan beragamanya seseorang boleh memeluk dan meninggalkan agama tertentu bahkan mencampuradukkan serta menghina agama yang tidak disukainya. Penyimpangan dan perusakan agama justru dilindungi dengan dalih kebebasan hak asasi manusia.

Disegi yang lain, muncul gaya hidup permisif, hedonis maupun kapitalis. Yang mengukur segala sesuatunya berdasarkan manfaat yang bisa didapat. Seseorang berhak memiliki dan melakukan segala sesuatu selama itu mengandung manfaat baginya. Segala cara pun dilakukan dengan tujuan memperoleh manfaat tersebut. Dalam faham demokrasi ini pernikahan sesama jenis menjadi hal yang wajar, perilaku seks bebas sebagai kebutuhan dan pengerukan berbagai sumber daya alam oleh individu sebagai sesuatu yang biasa. Akibatnya muncullah kerusakan dan kesenjangan sosial yang akut di masyarakat.

Namun yang lebih mendasar dari itu semua sekaligus menjadi pembeda utama antara demokrasi dan sistem islam adalah bahwa islam tidaklah menjadikan rakyat sebagai pemangku kedaulatan yang memiliki otoritas dalam membuat hukum dan kebijakan. Kedaulatan dalam islam berada pada syara’. Segalanya telah diatur dalam nash alqur’an dan sunnah. Tak ada lagi perdebatan didalamnya. Keberadaan rakyat adalah pemilik kekuasaan. Dimana ia berhak menentukan siapa pemimpin mereka untuk melaksanakan syariat yang telah ditetapkan.

Batasan-batasan yang diberikan dalam islam tidak berarti mengekang. Namun justru islam menunjukkan jalan yang sesuai dengan fitrah, nurani dan memberikan ketentraman hati. Manusia diberikan aturan yang didalamnya mengandung kebahagiaan yang bersumber atas keinginan memperoleh keridhoan bukan atas manfaat semata.

Demokrasi berbeda dengan syuro atau musyawarah seperti yang dikenal dalam islam. Ia adalah sebuah sistem yang berasal dari pemisahan agama dari urusan kehidupan. Dan atas dasar itulah muncul berbagai pandangan hidup yang jauh berbeda dengan nilai-nilai islam yang pada kenyataannya justru semakin menjauhkan manusia dari tujuan hidupnya itu sendiri yaitu mencapai kebahagiaan. Jika sudah demikian mengapa kita masih saja mempertahankannya??


Related Article:

1 komentar:

insidewinme mengatakan...

Ketika Rasulullah Saw. menantang berbagai keyakinan bathil dan pemikiran rusak kaum musyrikin Mekkah dengan Islam, Beliau dan para Sahabat ra. menghadapi kesukaran dari tangan-tangan kuffar. Tapi Beliau menjalani berbagai kesulitan itu dengan keteguhan dan meneruskan pekerjaannya.

Posting Komentar

Senang jika anda mau meluangkan waktu untuk meninggalkan komentar demi kebaikan blog ini. Terima kasih
- Ari Ahmad Afandi -


 
Copyright 2011 Afandi's Memoirs. All rights reserved.
Theme modified by Ari Ahmad Afandi